
Pernah terobsesi dengan sebuah nama?
Dulu pada masa saya sedang rajin-rajinnya menulis fiksi, saya secara tidak sadar sering menamai karakter-karakter saya dengan awalan huruf ‘R’, atau setidaknya ada unsur ‘R’-nya. Untuk kamu yang dulu mengikuti cerita bersambung saya di (almarhum) Multiply, semua karakter utamanya berunsur huruf ‘R’: Vardan, Faren, Raihanun, dan Erina. Jadi, jangan heran bila saya menggunakan nama ‘Ranna’ sebagai nama pena dan nama onair saya. Bila ditanya mengapa saya sangat tergila-gila dengan nama-nama yang ada unsur huruf ‘R’-nya, saya hanya bisa mengangkat kedua pundak saya. It just happens.
[ ]
Pertengahan November 2014,
Ialah F, seseorang yang sudah menyebut saya sok tulus dan sumber masalah di hidupnya, tetiba meng-unblock LINE saya dan mengirimkan sebuah pesan, “Udah tidur? Makan yo.” Look at this dude, he wanted to have dinner with his source of problem! Dan dia juga sudah tahu benar kalau saya tidak akan menolak permintaan dia. Kami berdua pun pergi ke warung Indomie terdekat dan saya—yang biasanya memulai pembicaraan—memilih untuk diam dan bahkan sebisa mungkin tidak melakukan kontak mata.
Dia—akhirnya—yang memulai pembicaraan lebih dulu. Wajahnya masih sama seperti terakhir kali kita bertemu: he always looks pissed off. Saya jawab beberapa pertanyaan basa-basi dia. I mean, tentu saja itu basa-basi. Sejak kapan dia ingin tahu atau bahkan peduli dengan keadaan saya? Sunyi mengisi seraya ia menghabiskan semangkuk mie Indomie kuah dengan kornet dan telor, juga beberapa potong gorengan. Saya tidak pernah berekspektasi bisa sedekat ini dengan dia secara fisik setelah pertengkaran hebat di antara kita pada awal Oktober 2014 kemarin. Saya tidak mengharapkan ini.

Namun, semua rasa ketidaksukaan dan ketidaknyamanan saya di dekat dia buyar ketika ia bercerita tentangnya yang membaca buku Dewi Lestari di salah satu kedai kopi di Kalibata, Jakarta. “Filosofi Kopi. Bagus bukunya,” ujarnya. Saya mendengus dan berujar dalam hati, yaiyalah! Semua bukunya Teh Dewi nggak ada yang gagal! Iseng, saya tanya apa cerpen favorit dia dalam buku itu. Well, bisa saja dia berbohong telah membaca buku itu, kan? He’s addicted to lie to me. Dan jawaban dia adalah…
“’Mencari Herman’.”
Sesaat, saya terdiam. Ingin saya buat meja yang ada di hadapan kita berdua ini terbalik dan berteriak di depan mukanya, “Are you effing kidding me?!”
Bertahun-tahun saya menanyakan pertanyaan yang sama kepada orang-orang yang sudah membaca buku ‘Filosofi Kopi’ dan jawaban mereka selalu cerpen ‘Filosofi Kopi’. Tak ada yang menjawab ‘Mencari Herman’ yang notabene adalah cerpen favorit saya dalam buku tersebut.
Mungkin bagi kamu yang sedang membaca tulisan saya, hal ini biasa saja. Buat saya, ini terlalu luar biasa… luar biasa menyebalkannya. Saya sudah tidak mau punya kesamaan lagi dengan dia. Tetapi, sepertinya Semesta memang selalu punya cara iseng untuk mengejutkan kita berdua—atau setidaknya saya saja pada momen ini.
Membahas cerpen ‘Mencari Herman’ ini sesaat membuat saya terlempar ke masa-masa saya pada tahun 2012, saat pertama kali saya berkenalan dengan seseorang yang akhirnya menjadi mantan saya yang ketiga. Tak perlulah pedulikan nama depannya, karena saya cukup memuja nama belakangnya: Suherman. Berbeda dengan Hera, tokoh utama wanita dalam ‘Mencari Herman’ yang terobsesi dengan nama ‘Herman’ dan butuh bertahun-tahun lamanya untuk bisa berkenalan dengan sesosok pria yang bernama tulen Herman, saya sudah cukup senang menemukan seseorang bernama belakang Suherman. Pertama, karena ada unsur huruf ‘R’ pada ‘Suherman’. Kedua, ada unsur ‘Herman’ dalam ‘Suherman’. Belum lagi, mantan saya yang satu ini sesuai dengan kriteria ideal yang pernah saya tulis di buku harian saya bertahun-tahun yang lalu. Benar-benar seperti ketiban durian runtuh.
Nasib saya dengan Hera sebenarnya sebelas-duabelas. Hera kehilangan nyawanya setelah berkenalan dengan pria bernama Herman Suherman. Can you imagine? Bertahun-tahun ia mencari seorang Herman, dan sekalinya dapat, yang ia dapatkan adalah Herman kuadrat. Bagaimana dengan saya? Saya juga kehilangan ‘hidup’ saya. Can you imagine? Salah satu mimpi saya untuk mempunyai pasangan hidup yang saya idam-idamkan jadi kenyataan, dan saya tidak mungkin akan melepaskan dia begitu saja.
Kehidupan saya yang sudah dimulai dan bisa diberi judul ‘Menemukan Herman’, berlanjut menjadi ‘Mencari Herman’ karena tetiba ia melenyapkan jejaknya dari hidup saya, sampai akhirnya menjadi ‘Merelakan Herman’ pada awal tahun 2014 kemarin, karena ia tak kunjung saya temukan.
[ ]
Beberapa hari setelah pembicaraan di warung Indomie, F bersikap seolah di antara kita tidak pernah ada masalah sama sekali—seolah ia lupa bahwa ia pernah mentah-mentah menganggap saya sebagai sumber semua masalah yang ada di hidupnya. Ia bahkan meralat peribahasa yang ada di dalam ‘Mencari Herman’.
“Yang bener tuh kayak gini: Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan,” ujanya.
Dua ‘Herman’ melenyapkan nyawa Hera. Sementara saya? Satu ‘Herman’ harusnya menggenapkan hidup saya, bukan meluluhlantakan saya.
Sesaat saya berusaha mengingat wajah mantan saya yang terakhir itu. Suaranya. Tekstur kulit wajahnya. Cara ia merengkuh saya. Semuanya sudah hampir tidak bisa saya ingat dengan otak saya.
Lagipula, ada seseorang yang harus saya jaga sekarang. Seseorang yang menghentikan fase hidup saya yang bisa diberi judul ‘Merelakan Herman’ itu. Dialah penanda akhir cerita sekaligus penanda awal cerita baru bagi saya. Dia bukan seseorang yang bisa disebut sebagai ‘teman hidup’—dia terlalu menyebalkan untuk diberi gelar itu. Tetapi, saya harus menjaganya karena dia, secara tidak langsung, sudah menyelamatkan saya.
Seseorang itu menganggap saya sok tulus dan sumber masalah dalam hidupnya.
Seseorang itu menyukai cerpen ‘Mencari Herman’.
Seseorang itu F, dan ada unsur huruf ‘R’ pada nama belakangnya.
Dan hal inilah yang membuat saya tidak pernah menyukai kejutan dari Semesta. Tidak ada huruf ‘R’ pada ‘kejutan’ dan ‘Semesta’, anyway.
But, heck, there are ‘R’ in ‘surprise’ and ‘Universe’.
(gambar pinjam dari sini dan sini)