“Sejak gue ketemu lo, gue berubah jadi orang yang beda!” ujar Cinta ketus, kemudian memelankan suaranya dan mengalihkan pandangannya dari Rangga, “Orang yang nggak bener…”
Pertengkaran antara Cinta dan Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta? (2002) di lorong sekolah itu terjadi karena Cinta merasa dirinya berubah karena kedekatannya dengan Rangga. Perubahan apa yang dirasakan Cinta? Ia mulai berani berbohong kepada teman-temannya, terutama kepada Alya yang pada saat malam di mana Cinta pergi ke kafe dengan Rangga, ia sedang mebutuhkan sosok Cinta—sahabatnya. Keadaan diperparah saat Cinta mendengar kabar bahwa Alya dilarikan ke rumah sakit karena mencoba bunuh diri dan Maura—salah satu sahabat Cinta dan Alya—tahu kalau malam itu Cinta tidak pergi ke dokter, tetapi mendeklamasikan puisinya Rangga di salah satu kafe hipster.
Mari kita garis bawahi frasa “orang yang berbeda” dan “orang yang nggak bener” dalam ucapan Cinta di atas dan saya refleksikan dengan pengalaman pribadi saya.
[ ]
Awal Oktober kemarin, dengan gontai saya langkahkan kaki saya ke ruang tengah di rumah keluarga saya yang mungil dan memberitahu orang tua saya bahwa saya nggak melanjutkan karir saya di dunia broadcasting. Ketika ditanya alasan utamanya apa, saya jawab dengan santai, “Pengen istirahat. Capek.”
Saya mengurung diri di kamar saya yang nggak kalah mungilnya dengan ruangan lain di rumah ini. Saya tatap sekeliling kamar saya dan menghela napas panjang. Kasian kamar ini. Semenjak dua tahun lalu saya diterima bekerja di salah satu radio anak muda di Bandung, saya jarang sekali merapikan atau mendekorasi ulang kamar ini. What you’ve done with your life after all this time, Ranna? You chased your dream to be a broadcaster, but you forget to take care of your own bedroom.
Saya tatap lagi kamar saya, menatap barang-barang yang tertata rapi dari ujung ke ujung lainnya. Rapi, memang. Mamah saya yang merapikannya. Dan saya nggak suka. Bukan karena saya bisa merapikannya lebih baik sih. Saya sedih saja. Mamah saja sadar bahwa saya gak punya waktu buat membereskan kamar selama dua tahun terakhir ini, kenapa saya nggak? Ke mana aja saya selama ini? Where is the old me? Ke mana diri saya yang dulu selalu rajin membereskan kamar seminggu sekali?
Perlahan, saya mulai menyalahkan kantor saya karena membuat saya ‘beda’ dengan ‘saya yang dulu’.
Saya buka lemari pakaian saya dan semua baju dan celana tertata rapi, tapi bukan seperti yang saya biasa lakukan. Pakaian di lemari ini seharusnya terbagi menjadi ‘baju buat di rumah’, ‘baju buat ke kantor’, ‘polo shirt’, dan ‘kemeja’, tidak asal ditumpuk rapi seperti ini.
Saya semakin kesal dengan kantor saya yang dulu. Sejauh ini kah mereka memisahkan saya dengan ‘saya yang dulu’? Kok saya jadi orang yang gak ‘bener’ begini?
I miss the old me…
Terduduk saya di bibir kasur. Tak sengaja pandangan mata saya mendarat di tumpukan novel di rak buku paling atas di kamar ini. Saya tertegun, “Oh my God, sudah berapa lama saya nggak baca buku?” Saya ambil novel filsafat Dunia Sophie karya Jostein Gaarder dari rak bagian atas dan mencoba mengingat kapan terakhir saya membaca novel yang tak kunjung selesai saya baca ini. Saya lupa. Yang jelas, saya ingat buku ini adalah pemberian dari mantan saya di ulang tahun saya yang ke-20 pada tahun 2010. Dia tahu benar kalau saya itu kutu buku…
Kutu buku…
KUTU BUKU!
Saya yang dulu adalah kutu buku. Dan saya melupakannya selama dua tahun terakhir ini.
Saya keluar dari kamar dan duduk menghadap si Papah dan si Mamah. “Pah, kapan Papah terakhir liat Aa baca buku?”
Kening Papah mengernyit, “Perasaan udah lama banget gak liat Aa baca atau beli buku.”
“Exactly,” ujar saya senang, “Selama bulan November nanti, Aa gak mau kerja dulu. Pengen baca buku sebanyak-banyaknya.”
“Oh, ya sok aja. Papah mah nggak maksa kamu harus langsung kerja lagi kok,” ujar Papah.
Sejak saat itu, saya berusaha menjadi saya yang dulu lagi. Hari pertama Gelombang-nya Dee Lestari terbit, saya langsung berburu ke toko buku dan membacanya dengan menggebu-gebu. It feels good to start becoming a book worm again.
Mungkin saya sekarang terdengar seperti Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta? yang salah satu perkataannya saya kutip di awal postingan ini: menyalahkan seseorang (atau sesuatu) atas perubahan besar yang dialaminya. Atas semua ke-chaos-an dalam hidupnya. Mungkin untuk beberapa orang, melimpahkan kesalahan yang mereka lakukan sendiri bisa membuat dirinya lebih nyaman. Tapi, mau sampai kapan seperti itu?
Alangkah baiknya kita memaklumi perkataan kasar Cinta kepada Rangga—mengingat Cinta pada saat itu masih berusia sekitar 16 atau 17 tahun. Malu rasanya jika saya, yang sudah menginjak usia di angka 24 ini, masih bersikap seperti Cinta. But, then again, age is just a number. Digit angka usia kamu nggak selalu berbanding lurus dengan tingkat kedewasaan kamu.
Saya sekarang sudah menjadi ‘orang yang beda’ atau mungkin ‘orang yang gak bener’ juga, tapi setidaknya saya punya pilihan untuk menyelamatkan separuh dari saya yang ‘dulu’ yang masih bisa saya pertahankan. Saya akan summon kutu buku dalam diri saya dan membiarkannya beradaptasi perlahan dengan diri saya yang ‘beda’ dan (mungkin) ‘gak bener’ ini.
(Gambar dipinjam dari sini, sini, dan sini)